Anak-anak yang kita anggap “istimewa” adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita. Ada yang punya kecerdasan visual yang menakjupkan, tetapi sekolah-sekolah kita mengabaikannya. Bahkan parahnya dilabelkan berkonotasi buruk.

Sekolahnya  manusia adalah sekolah berbasis multiple intelegences yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa.

Sumber kecerdasan seorang anak adalah kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang punya nilai budayan(kreativitas) dan biasa menyelesaikan masalahnya secara mandiri (problem solving). Dan kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.

Teori Multiple Intelligences (MI), di dunia psikologi ke dunia edukasi: kecerdasan dilihat dari kebiasaan menyelesaikan masalahnya sendiri dan kebiasaan menciptakan produk baru yang punya nilai budaya.

Strategi belajar-mengajar dengan Teori MI:

a. Diskusi (harus ada masalah yang akan dipecahkan. ex: mengatasi siswa yang tidak menghormati guru): mengembangkan kecerdasan linguistik dan interpersonal.

b. Action research (siswa membuat hipotesis tentang materi yang akan disampaikan kemudian melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis tersebut. ex: siswa melakukan hipotesis air mana yang cocok untuk bayi kemudian siswa diminta mengecek sendiri hipotesisnya dengan menggunakan termometer): mengembangkan kecerdasan matematis-logis dan naturalis.

c. Klasifikasi (pengelompokan banyak data ke dalam minimal dua kategori. ex: siswa diminta mengelompokkan lingkungan alam dan buatan): mengembangkan kecerdasan matematis-logis dan naturalis.

d. Analogi (membuat persamaan. ex: menganalogikan siswa yang dicap buruk sebagai apel busuk yang di dalamnya terdapat bintang, jadi setiap anak memahami bahwa setiap orang mempunyai sisi baik meskipun dari luar terlihat buruk): mengembangkan kecerdasan matematis-logis, spasial-visual, dan naturalis.

e. Identifikasi (mencari ciri-ciri yang membedakannya dari yang lain. ex: mengidentifikasi perbedaan pantun dari karya sastra lainnya): mengembangkan kecerdasan matematis-logis, spasial-visual, intrapersonal, dan naturalis.

f. Sosiodrama (siswa berperan sebagai tokoh dalam sebuah cerita, cocok diaplikasikan dalam pelajaran sejarah): mengembangkan kecerdasan linguistik, kinestetik, dan interpersonal.

g. Penokohan (proses pembelajaran dengan sosok tokoh terkenal): mengembangkan spasial-visual, linguistik, dan kinetetik.

h. Flash card/gambar visual (gambar, lambang, atau simbol): mengembangkan kemampuan spasial-visual dan interpersonal.

i. Papan/karton permainan (mengaitkan konsep pembelajaran dengan permainan): mengembangkan kemampuan spasial-visual, logis-matematis, interpersonal, dan intrapersonal.

j. Wayang (konsep pembelajaran dengan dialog tokoh-tokoh yang ada kaitannya dengan materi): mengembangkan kemampuan spasial-visual dan interpersonal

k. Applied learning (mengaitkan pembelajaran dengan manfaat yang akan diperoleh dalam kehidupan nyata): mengembangkan kemampuan naturalis dan kinetetis.

l. Movie learning (mengaitkan konsep pembelajaran dengan tayangan film): mengembangkan kemampuan spasial-visual.

m. Environment learning (mengunjungi suatu tempat): mengembangkan kemampuan naturalis, linguistik, interpersonal.

n.Service learning (give something/siswa memberikan informasi kepada lingkungan yang dikunjungi): mengembangkan kemampuan naturalis, linguistik, interpersonal.

Metode MI baik digunakan untuk pengajar karena:

  1. MI sangat menarik
  2. MI mendukung pembelajaran
  3. MI membuat uru mengetahui kecenderungan belajar siswa sehingga mudah memberikan materi dan mudah diterima siswa.
  4. Dengan MI, output berupa  nilai UN siswa dan hasil yang dicapai anak didik menjadi sangat luar biasa

Tantangan dalam aplikasi multiple intellegenges di dunia pendidikan Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Beberapa elemen sistem pendidikan kita masih kurang sejalan dengan sistem pendidikan yang proporsional (artinya tidak hanya seimbang tapi juga manusiawi).
  2. Pemahaman yang salah tentang makna sekolah unggul di Indonesia. Indikator sekolah unggul tidak selalu the best input.
  3. Desain kurikulum yang masih sentralis.
  4. Penerapan kurikulum yang tidak sejalan dengan evaluasi hasil akhir pendidikan
  5. Proses belajar yang menggunakan kreativitas tingkat tinggi. Permasalahannya terletak pada rendahnya kemampuan guru mengajar dengan kreativitas baru yang menarik. Kurangnya kreativitas guru mengindikasikan bahwa kualitas guru di Indonesia masih rendah.
  6. Proses penilaian hanya dilakukan secara parsial pada kemampuan kognitif yang terbesar; masih belum menggunakan penilaian autentik secara komprehensif.

Dengan tangtangan-tantangan tersebut, sekolah yang ingin menerapkan multiple intelegences system secara tepat membutuhkan keberanian tingkat tinggi untuk berubah. Reformasi sekolah demi keunggulan sumber daya manusia tidak biasa menunggu lagi. Pemberlakuan K13 mestinya menjadi peluang bagi sekolah-sekolah di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta, untuk berani berubah dari paradigma pendidikan yang usang dan ketinggalan zaman untuk mewujudkan hal-hal baru yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat di mana pun dan di bidang apa pun.

#MunifCotib-Gurunya Manusia
#Cikgudina -Rahasia Guru